Minggu, 31 Oktober 2021
Nyai Rambut Kasih, Ratu Majalengka nan Sakti dan Cantik
Rabu, 27 Oktober 2021
Sejarah Lahirnya Sumpah Pemuda
Hari ini 93 tahun lalu, tepatnya 27 Oktober 1928, Kongres Pemuda II dimulai. Dari kongres itu lahirlah Sumpah Pemuda. Momentum Sumpah Pemuda menjadi salah satu titik balik perjalanan bangsa Indonesia menuju Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebab, saat itu Indonesia masih terpecah belah sehingga para pemuda belum memahami arah perjuanganmenuju Kemerdekaan Indonesia. Persatuan itu kemudian ditandai dengan momentum Sumpah Pemuda.
Pada 1908, rakyat Indonesia mulai memiliki kesadaran untuk bersatu melawan penjajah. Di berbagai wilayah, pemuda Indonesia mulai membentuk perkumpulan dan menentang penjajah. Kemudian pada 1928, rasa kebangsaan Indonesia dan persatuan Indonesia mulai menjadi cermin dari rasa bangga, rasa memiliki cita-cita tinggi untuk Indonesia merdeka.
Pengakuan dari para pemuda Indonesia yang mengikrarkan satu Tanah Air, satu bangsa dan satu bahasa adalah Sumpah Pemuda.
Peristiwa Sumpah Pemuda dibacakan pada 28 Oktober 1928, yang merupakan hasil rumusan dari kerapatan pemuda-pemudi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang kini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda setiap tahunnya.
Kongres Pemuda II dilaksanakan selama tiga sesi pada tiga tempat yang berbeda yang dilakukan oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Anggota organisasi PPPI adalah pelajar dari seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian para wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon ikut hadir pada Kongres. Selain itu, pengamat dari pemuda Tionghoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Sianf dan Tjoi Djien Kwie juga turut hadir.
Berikut tiga rapat yang dilaksanakan oleh PPPI dalam Sumpah Pemuda.
Rapat pertama dilakukan pada Sabtu, 27 Oktober 1928 yang dilaksanakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng.
Dalam sambutannya, Soegondo Djojopuspito, tokoh di balik lahirnya sumpah pemuda, berharap konferensi ini dapat mempererat kohesi generasi muda. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan pemaparan Moehamad Jamin mengenai arti dan hubungan persatuan dengan pemuda.
Rapat kedua, Minggu 28 Oktober 1928, yang dilakukan di gedung Oost-Java Bioscoop. Pada rapat kedua membahas mengenai masalah pendidikan. Rapat ini dihadiri oleh kedua pembicara yaitu Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro.
Kedua pembicara tersebut sependapat bahwa anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan serta keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Mereka juga sependapat bahwa anak harus dididik secara demokratis.
Selanjutnya, pada rapat ketiga, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi. Sedangkan, Ramelan berpendapat bahwa gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.
Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak agar disiplin dan mandiri. Kemudian, sebelum kongres ditutup dengan lagu Indonesia karya Wage Rudolf Supratman yang disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kemudian Kongres ditutup dengan mengumumkan hasil rapat Kongres.
Sumber Berita :
https://www.kompas.com/tren/read/2021/10/27/082914665/kongres-pemuda-27-oktober-1928-sejarah-lahirnya-sumpah-pemuda?page=all
https://www.liputan6.com/citizen6/read/4694554/sejarah-lahirnya-sumpah-pemuda-28-oktober
edited by EK
Kamis, 14 Oktober 2021
PENTINGNYA PARTAI-PARTAI OPOSISI DALAM PEMERINTAHAN
Oposisi dalam dunia politik berarti partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Beberapa parpol ada yang menyebut dirinya sebagai partai penyeimbang.
Opposition lazim diterjemahkan menjadi oposisi. Kata itu berasal dari bahasa Latin oppōnere, yang berarti menentang, menolak, melawan. Nilai konsep, bentuk, cara, dan alat oposisi itu bervariasi. Nilainya antara kepentingan bersama sampai pada kepentingan pribadi atau kelompok.
Berpolitik itu bukan cuma berkuasa, tapi juga beroposisi. Keduanya sama pentingnya dan sama terhormatnya. Berkuasa berarti menjadi pelaksana kekuasaan, beroposisi berarti memberi alternatif pilihan.
Sistem kekuasaan tanpa oposisi adalah fasisme dan otoritarianisme. Karena itu, kehadir - an oposisi yang efektif dalam sistem kekuasaan adalah kebutuhan dan keharusan. Tanpa oposisi tak ada demokrasi yang sehat. Demokrasi menjadi layu dan lumpuh. Publik tak memiliki pilihan, dan penguasa tak terkontrol.
"Beroposisi artinya berperan aktif mengkritik kebijakan pemerintah yang memberatkan rakyat. Dengan demikian masyarakat merasa aspirasi mereka tersalurkan. Kritik yang dilancarkan juga penting berbobot. Artinya, tidak hanya mengkritik tetapi tidak bisa memberi solusi konkret terhadap permasalahan mengemuka yang dirasakan masyarakat. Sering-seringlah mengkritik kebijakan pemerintah yang salah, maka akan dapat mendapat simpati publik" ujar Eddy Kurniawan S.Sos salah seorang pengamat politik.
Menurut beliau juga "Oposisi harus militan melakukan pendekatan pada masyarakat, jika ingin diterima pada Pemilu 2024 mendatang. Jadi militansi kader partai bisa ditunjukkan dengan sering turun ke bawah mendampingi masyarakat menghadapi permasalahan yang mengemuka dengan memberikan solusi yang konkret. Contohnya para kader yang militan dapat mendampingi masyarakat ketika masyarakat sedang mengalami kesulitan mendapat akses pengobatan, pendidikan dan hal-hal mendasar lainnya".
Kita sangat membutuhkan pemerintah yang kuat dan efektif, sebagaimana kita juga sangat membutuhkan oposisi yang kuat dan efektif. Hal itu akan menciptakan keseimbangan yang sehat. Mereka akan saling mengontrol dan saling mengingatkan. Ujungnya adalah hadirnya kesejahteraan rakyat dan tegaknya keadilan sosial.
Sumber berita:
https://id.wikipedia.org/wiki/Oposisi_(politik)
https://www.republika.co.id/berita/napdep/belajar-beroposisi
Senin, 04 Oktober 2021
Sejarah Singkat Hari Lahirnya TNI (5 Oktober)
Minggu, 03 Oktober 2021
ISLAM ITU INDAH
Agama Islam adalah agama yang penuh cinta dan kasih sayang, agama yang dapat menyudahi kegelapan, dan memulai kehidupan baru yang lebih menjanjikan dan terang benderang. Agama yang sempurna, dan relevan di setiap zaman hingga akhir dunia.
Ketika setiap orang mengerti bahwa Islam itu indah, maka setiap detik dalam kehidupannya, tidak akan luput dalam benaknya untuk mengingat Allah. Mengingat Dzat Yang Menyandang Nama Allah.
Islam Itu Indah
Sejarah peradaban Islam yang sudah tercatat pada sejarah dunia, menunjukkan bahwa Islam pernah mengalami masa kejayaan, masa di mana dapat mengubah hidup manusia yang terbelakang, menjadi kehidupan yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan.
Daulah Islam Andalusia, Kerajaan Turki Utsmani, dan Kerajaan Mughal di India, adalah contoh dari peradaban Islam yang pernah berjaya, mereka menyebarkan pengaruhnya ke berbagai aspek kehidupan.
Ajaran Islam yang mereka sebar luaskan ini tidak hanya membimbing hubungan antara manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Nahl ayat 89.
Surat an-Nahl ayat 89 dalam bahasa arab
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ شَهِيْدًا عَلَيْهِمْ مِّنْ اَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيْدًا عَلٰى هٰٓؤُلَاۤءِۗ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ
Surat an-Nahl ayat 89 dalam bahasa latin
“Wa yauma nab’aṡu fī kulli ummatin syahīdan ‘alaihim min anfusihim wa ji`nā bika syahīdan ‘alā hā`ulā`, wa nazzalnā ‘alaikal-kitāba tibyānal likulli syai`iw wa hudaw wa raḥmataw wa busyrā lil-muslimīn.”
Terjemahan Arti surat an-Nahl ayat 89
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim).
Selain itu, juga dapat dilihat pada Surat Yunus ayat 57, al-Baqarah ayat 185, al-Maidah ayat 6, al-Hajj ayat 78, dan ayat – ayat lain yang semakna.
Dalam al-Quran, telah jelas disebutkan tata krama yang harus dipegang sungguh – sungguh, ketika berhadapan dengan Tuhan, manusia, maupun alam. Berbuat kerusakan, bukanlah hal yang diinginkan Islam, dan tentu akan dimurkai-Nya.
Allah sendirilah yang menugaskan kepada manusia, untuk menjadi khalifah di bumi, memakmurkan bumi, dan beribadah kepada Allah, sebagaimana yang disebut dalam Surat Huud ayat 61 dan Surat Adz-Zariyat ayat 56.
Semua aspek kehidupan manusia, seperti yang telah disebutkan, sudah diatur. Mulai dari bangun tidur, hingga kembali tidur. Mulai dari menginjakkan kaki keluar rumah, hingga pulang kembali. Selain menjalankan amalan wajib, Anda juga dapat melakukan ibadah sunah sehari – hari.
Menyeimbangkan Ibadah Wajib dengan Sunnah
Berikut tiga keuntungan ketika menyeimbangkan ibadah wajib dengan sunah, di antaranya:
1. Meraih cinta Allah.
Ibnul Qayyim pernah mengatakan bahwa Allah akan mencintai hamba – hamba-Nya jika mereka mengikuti Rasulullah Saw, secara lahir maupun batin.
Membenarnya berita apapun yang dibawanya, menaati perintah, menerima dakwah, memuliakan Rasulullah Saw. karena rasa patuh, menaati hukumnya, tidak mencintai dan menaati makhluk lain karena cinta dan taat terhadapnya,
2. Akan merasa bersama Allah.
Setelah hamba meraih cinta-Nya, maka ia akan selalu meraih kebersamaan-Nya, karena semua yang dilakukan hanya untuk mencari ridho-Nya.
3. Doa – doanya dikabulkan.
Ketika seorang hamba telah mendapat cinta dan kebersamaan-Nya, maka Allah akan senantiasa memberi taufik dan hidayah, serta mengabulkan doa – doanya.
Islam itu indah, ketika seorang hamba ikhlas menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi apa – apa yang dimurkai-Nya, Islam itu akan mudah baginya, sama sekali tidak ada hal yang memberatkan. Contohnya adalah seperti yang dikisahkan oleh Ibnul Qayyim tentang gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam buku Al Waabilush Shoyyib.
Ibnu Taimiyah justru terlihat semakin menikmati Islam ketika beliau tengah mendapat siksaan berat dan cemooh dari musuh – musuh, lantaran mendakwahkan akidah ahlus sunnah wal jama’ah. Dengan adanya keimanan dan ketaatan, hakikinya hidup tenang dan bahagia, akan dapat dirasakan.
Hikmah dari mendapatkan ujian ataupun cobaan justru akan memberikan kebaikan dan manfaat untuk meningkatkan kadar keimanan dan sarana mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, cobaan akan menghapus dan membersihkan dosa – dosa hamba-Nya.
Dengan kalimat islam itu indah yang sering diucapkan para pendakwah beserta bukti – bukti keindahan dan cara mendapatkannya, masih banyak yang merasa berat untuk melakukan ibadah – ibadah wajib, terlebih lagi ibadah sunah, seperti sholat malam, dhuha, atau amalan – amalan yang lain.
Jika masih belum dapat merasakan indahnya Islam, yang perlu diperbaiki bukanlah ibadah – ibadah itu, atau jangan menyalahkan bahwa ibadah – ibadah itu tidak seindah yang pernah dikatakan, justru yang perlu diperbaiki dan dilihat kembali, adalah hati dan keimanan. Bisa jadi kotoran menumpuk di situ.
Ibaratkan dengan perbedaan orang sehat yang makan makanan paling enak, dan orang sakit yang diberi makanan yang sama enaknya. Orang sakit itu pasti tidak akan selahap orang yang sehat, atau bahkan tidak akan habis. Begitulah cara memandangnya untuk dapat merasakan dan membuktikan bahwa Islam itu indah. Dibutuhkan iman dan hati yang sehat untuk menikmatinya.
Berusaha menyembuhkan dan menghilangkan penyakit, dengan al-Quran, itulah yang dapat dilakukan, karena al-Quran adalah obat dan penyembuh, berdasarkan Surat al-Israa’ ayat 82 dan Yunus ayat 5. Artinya, untuk mengobati hati adalah dengan menjalani petunjuk dan arahan yang ada tertulis dalam al-Quran dan sunah Rasulullah Saw.
Tiga Cara Untuk Menyembuhkan Hati
Ibnul Qayyim, dengan tetap berpegang pada al-Quran dan hadits, menyebutkan tiga cara untuk menyembuhkan hati, yaitu:
1. Hifzhul Quwwah, atau memelihara kekuatan dan kondisi hati.
Cara ini dapat dilakukan dengan sering ibadah dan beramal shaleh, seperti berdzikir, membaca al-Quran dan meresapi maknanya, serta belajar ilmu agama.
2. Al Himyatu ‘Anil Mu’dzi, yaitu menghindarkan hati dari penyakit lain.
Dapat dilakukan dengan cara menjauhi perbuatan dosa, maksiat, dan perbuatan menyimpang lain.
3. Istifragul Mawaaddil Faasidah,
yaitu membersihkan noda – noda di hati akibat perbuatan yang lalu. Dapat dilakukan dengan cara beristighfar dan bertaubat dengan sungguh – sungguh.
Biasanya, akan terasa berat di awal usaha, namun hal ini adalah proses untuk menguji kesungguhan dan kesabaran. Setelah semua itu terlewati, Insyaa Allaah, Allah akan memberi taufik dan hidayah-Nya untuk hamba – hamba-Nya yang berusaha.
Besar kecilnya hidayah yang Allah berikan, tergantung dari sejauh mana seorang hamba bisa bersabar dan bersungguh – sungguh dalam mencari ridho di jalan-Nya. Hal ini sesuai dengan komentar Imam Ibnu Qayyim Al Jauziiyyah atas Surat al-‘Ankabuut ayat 69.
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
Bacaan surat al-‘Ankabuut ayat 69
“wallażīna jāhadụ fīnā lanahdiyannahum subulanā, wa innallāha lama’al-muḥsinīn.”
Terjemahan Arti surat al-‘Ankabuut ayat 69
“(Dalam ayat ini) Allah menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah dari Allah adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”.
Hadits shahih Imam Muslim dan lainnya, dari Abu Huraira, Rasulullah bersabda, “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”.
Inti tafsir hadits tersebut oleh Ibnul Qayyim adalah sebahagia apapun orang beriman di dunia, tetap akan menjadi penjara baginya, jika dibandingkan dengan besarnya balasan berupa kebaikan dan kenikmatan yang akan diterima di akhirat. Dan sengsara apapun orang kafir di dunia, akan menjadi surga dibanding dengan balasan berupa kepedihan yang akan diterima di akhirat nanti.
Tafsir di atas juga pernah terjadi pada ulama ahli hadits, Al Hafiz Ibnu Hajar Al ‘Asqalaani, dengan seorang Yahudi yang kondisinya memprihatinkan. Singkat cerita, seorang Yahudi ini akhirnya memutuskan untuk menganut agama Islam.
Sumber :
https://umma.id/article/share/id/1002/572979
JANGAN SALING MENCELA DAN MENGOLOK-OLOK
Fenomena dewasa ini yang cukup memprihatinkan kita adalah kita saksikan saudara-saudara kita sesama muslim yang saling mengejek, saling menghina, dan saling mengolok-olok di media sosial. Berbagai gelar dan julukan yang buruk pun mudah terucap, baik melalui lisan atau melalui jari-jemari komentar di media sosial. Sebutlah misalnya julukan (maaf) “cebong”, “kampret”, “IQ 200 sekolam” dan ucapan-ucapan buruk lainnya. Ucapan-ucapan yang tampak ringan di lisan dan tulisan, padahal berat timbangannya di sisi Allah Ta’ala di hari kiamat kelak.
Hukum Saling Memanggil dengan Gelar dan Julukan yang Buruk
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ
“Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk)” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).
Pada asalnya, “laqab” (gelar atau julukan) itu bisa mengandung pujian dan bisa juga mengandung celaan. Jika julukan tersebut mengandung pujian, inilah yang dianjurkan. Seperti, memanggil orang lain dengan “yang mulia”, “yang ‘alim (berilmu)”, “yang terhormat” dan sebagainya.
Namun jika julukan tersebut mengandung celaan, maka inilah maksud ayat di atas, yaitu hukumnya terlarang. Misalnya, memanggil orang lain dengan “orang pelit”, “orang hina”, “orang bodoh”, dan sejenisnya. Meskipun itu adalah benar karena ada kekurangan (cacat) dalam fisiknya, tetap dilarang. Misalnya dengan memanggil orang lain dengan “si pincang”, “si mata juling”, “si buta”, dan sejenisnya. Kecuali jika julukan tersebut untuk mengidentifikasi orang lain, bukan dalam rangka merendahkan, maka diperbolehkan. Misalnya, jika di suatu kampung itu ada banyak orang yang bernama “Budi”. Jika yang kita maksud adalah “Budi yang pincang” (untuk membedakan dengan “Budi” yang lain), maka boleh menyebut “Budi yang pincang”. Karena ini dalam rangka membedakan, bukan dalam rangka merendahkan.
Sayangnya, kita jumpai saat ini orang sangat bermudah-mudah dan meremehkan larangan Allah Ta’ala dalam ayat di atas. Diberikanlah julukan bagi orang yang berbeda pandangan atau pilihan “politiknya” dengan sebutan (maaf) “cebong”, sedangkan di pihak lain diberikan julukan (maaf) “kampret” dan julukan-julukan yang buruk lainnya. Seolah-olah ucapannya itu adalah ucapan yang ringan dan tidak ada perhitungannya nanti di sisi Allah Ta’ala.
Lebih-lebih bagi mereka yang pertama kali memiliki ide julukan ini dan yang pertama kali mempopulerkannya, kemudian diikuti oleh banyak orang. Karena bisa jadi orang tersebut menanggung dosa jariyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Dan barangsiapa yang membuat (mempelopori) perbuatan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa dan (ditambah dengan) dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim no. 1017).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti tersebut sedikit pun” (HR. Muslim no. 2674).
Jangan Saling Mengolok-olok
Allah Ta’ala juga melarang kita dari perbuatan saling mengolok-olok. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang perbuatan mengolok-olok orang lain. Misalnya dengan mengolok-olok saudaranya dengan mengatakan “IQ jongkok” atau “IQ 200 sekolam”, dan olok-olokan lainnya. Apalagi, dalam olok-olokan IQ tersebut jelas-jelas mengandung unsur dusta dan kebohongan atas nama orang lain. Karena tentunya, orang yang mengolok-olok itu tidak pernah mengukur IQ saudaranya sama sekali.
Selain itu, perbuatan mengolok-olok, saling memanggil dengan gelar yang buruk, dan perbuatan mencela orang lain itu Allah Ta’ala sebut dengan kefasikan. Istilah “fasik” maksudnya adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena perbuatan semacam ini tidak pantas dinamakan dan disandingkan dengan keimanan.
Di akhir ayat di atas, Allah Ta’ala katakan bahwa barangsiapa yang tidak mau bertaubat dari perbuatan-perbuatan di atas (mengolok-olok, memberikan gelar yang buruk, mencela, merendahkan, ghibah dan adu domba), maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Mereka telah menzalimi orang lain. Dan bisa jadi Allah Ta’ala selamatkan orang yang dilecehkan dan Allah Ta’ala timpakan hukuman kepada orang yang mengolok-olok dan melecehkan tersebut dengan bentuk hukuman sebagaimana olok-olok yang dia sematkan kepada orang lain atau bahkan lebih buruk.
Mencela Orang Lain Berarti Mencela Diri Sendiri
Ada yang menarik dalam ayat di atas berkaitan dengan larangan mencela orang lain. Allah Ta’ala melarang kita mencela orang lain dengan lafadz,
وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).
Mengapa mencela orang lain Allah Ta’ala sebut dengan mencela diri sendiri? Ada dua penjelasan mengenai hal ini. Penjelasan pertama, karena setiap mukmin itu bagaikan satu tubuh. Sehingga ketika dia mencela orang lain, pada hakikatnya dia mencela dirinya sendiri, karena orang lain itu adalah saudaranya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ المُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Sesungguhnya orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain” (HR. Bukhari no. 481 dan Muslim no. 2585).
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit, dengan begadang (tidak bisa tidur) dan demam” (HR. Muslim no. 2586).
Penjelasan kedua adalah karena jika kita mencela orang lain, maka orang tersebut akan membalas dengan mencela diri kita sendiri, dan begitulah seterusnya akan saling mencela. Dan itulah fenomena yang kita saksikan saat ini.
Mencela orang lain itu termasuk perbuatan merendahkan (menghina) mereka. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih” (QS. At-Taubah [9]: 79).
Oleh karena itu, melalui tulisan ini, kami mengajak kepada saudara-saudara kami sesama kaum muslimin untuk menghentikan kebiasaan saling mencela, saling menghina, saling mengolok-olok, dan saling memanggil dengan gelar dan julukan yang buruk. Baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya (di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya). Karena semua yang kita ucapkan dan semua yang kita tulis, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Ta’ala.
Sumber :
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Disarikan dari kitab Al-farqu baina an-nashiihah wa at-tajriih karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 19-21 (penerbit Kunuuz Isybiliya).
Website : https://muslim.or.id/41414-saudaraku-sampai-kapan-kita-saling-mencela-dan-mengolok-olok.html
HINAAN DAN CACIAN ORANG BODOH