Tidak mudah bagi non-Muslim melihat bagaimana bentuk Islam yang sebenarnya, karena Islam tertutupi oleh perbuatan para pengikutnya. Ada orang Islam yang tampak begitu keras dan keji, ada pula yang terlihat santun dan penyayang. Ada yang terlihat kotor dan kacau, ada pula yang selalu rapi dan bersih. Sebenarnya Islam itu yang mana? Bagaimana pun juga, Islam tidak bisa diukur hanya dengan melihat perilaku pengikutnya saja.
Kali ini kita akan membahas fenomena yang sedang heboh, khususnya di dunia maya. Fenomena yang bermodal sekali “klik” dapat mengguncang dunia.
Dengan dukungan teknologi yang semakin canggih, banyak yang ingin menyuarakan dakwah, menyampaikan “kebenaran” dan memperjuangkan Islam. Berbagai artikel, gambar dan video dibuat dan disebar dengan semangat memperjuangkan kebenaran.
Namun sayangnya, semangat menyuarakan Islam itu tidak diimbangi dengan cara Islami pula. Mereka memperjuangkan agama Allah dengan cara yang tidak disukai Allah. Mungkin kita pun termasuk dalam golongan ini. Karena kebenaran yang disampaikan seringkali disertai dengan saling mencela, mencaci dan mengejek kelompok lainnya.
Apakah cara semacam ini mendapat restu dari Al-Quran? Kali ini kita akan bertanya pada kitab Mukjizat ini tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang sudah tak beretika dalam dialog. Bagaimana sikap kita berhadapan dengan orang yang membahas argument dengan cacian?
Apakah Al-Quran menyerukan untuk membahas cacian mereka? Atau Islam punya cara lain?
Karena kita adalah umat Al-Quran, maka sudah selayaknya kita akan bertanya tentang sikap Al-Quran dalam mengatasi masal ini.
Rasulullah Diutus untuk Menyelamatkan Manusia dari Kebodohan
Tujuan Rasulullah saw diutus adalah untuk memberi tahu orang yang belum mengerti, memperingati orang yang lalai dan meluruskan orang yang sesat.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. An-Nahl: 44)
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dia-lah yang Mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Di sisi lain, ada ayat-ayat yang memerintahkan Rasul untuk berpaling dari orang-orang bodoh itu.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
Apakah dua ayat ini tidak saling kontradiksi? Satu ayat memerintahkan untuk mengajari orang yang bodoh dan ayat lain menyuruh untuk tidak mempedulikannya?
Tidak ada yang kontradiksi di dalam Al-Qur’an. Sebelum membahas dua ayat di atas, kita harus tahu siapakah orang bodoh itu? Dua macam ayat di atas mengarah kepada 2 tipe manusia yang berbeda. Orang bodoh itu terbagi dua macam:
Pertama, orang yang tidak tahu dan sadar bahwa dirinya tidak tahu. Rasulullah saw memiliki kewajiban untuk mengajari tipe orang yang semacam ini.
Kedua, orang yang bodoh tapi merasa dirinya paling pintar dan paling benar. Siapapun yang berbeda dengannya pasti salah. Tipe seperti ini tidak mau mendengar pendapat orang lain. Disinilah Rasulullah diperintahkan untuk berpaling dan tidak melayani mereka.
Orang seperti tipe kedua secara sadar atau tidak telah menganggap dirinya berada di atas Rasulullah saw. Bayangkan saja, Rasulullah telah memiliki segala ilmu yang telah diberi Allah swt,
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكَ عَظِيماً
“Dan Dia telah Mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.” (QS. An-Nisa’: 113)
Tapi di saat yang sama, Allah masih menyuruhnya untuk berdoa meminta tambahan ilmu.
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً
Dan katakanlah, “Ya Tuhan-ku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Thaha: 114)
Jika Rasulullah masih meminta tambahan ilmu, siapa kita jika merasa paling benar dan tidak mau mendengar pendapat dan ilmu dari orang lain?
“Orang yang paling dungu adalah orang yang menganggap dirinya paling berakal” (Imam Ali bin Abi Thalib)
Alasan Kelompok yang Menolak Kebenaran
Pada setiap zaman, ada sekelompok orang yang selalu menolak kebenaran dalam hidupnya. Mereka selalu berusaha menghalangi dakwah suci para nabi. Namun sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah mampu mengalahkan dalil dan argumen dari para nabi. Kekalahan mereka disebabkan karena argumentasi para nabi begitu kuat dan ilmu mereka begitu rendah. Ketika terpojok, mereka hanya bisa menggunakan senjata terakhir yaitu ejekan, cacian dan ancaman.
Allah swt menyebut kelompok ini sebagai orang-orang yang sangat merugi,
يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيهِم مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُون
“Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-oloknya.” (QS. Yasiin: 30)
Tapi anehnya, ketika bercerita tentang perilaku musyrikin yang suka mengejek para nabi, Al-Qur’an tidak pernah memberi celah sedikitpun bagi kaum Muslimin untuk membalasnya. Islam tak memberi izin walau satu kalimat untuk menjawab ejekan mereka.
Seperti ketika kaum munafiqin mengejek orang-orang Mukmin, Allah tidak mengatakan bahwa kaum Mukminin akan membalas ejekan mereka. Namun Allah sendiri yang akan membalas ejekan kaum musyrikin.
وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْاْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ — اللّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُون
Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.” Allah akan Memperolok-olokkan mereka dan Membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. (QS. Al-Baqarah: 14-15)
Bahkan, ketika Nabi diolok-olok, Allah memerintahkannya untuk berpaling dan tidak membalas olokan mereka. Allah sendiri yang akan membalas kata-kata keji mereka.
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ — إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ
“Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami Memelihara engkau (Muhammad) dari (kejahatan) orang yang memperolok-olokkan (engkau).” (QS. Al-Hijr: 94-95)
Para penyeru kebenaran tidak boleh masuk ke dalam dunia kotor ini. Perilaku ejek mengejek hanya layak dilakukan oleh orang yang frustasi menghadapi argumen kebenaran. Pejuang kebenaran tidak diizinkan sama sekali untuk berperilaku kotor seperti mereka.
Teringat kisah Nabi Nuh a.s. ketika membuat kapalnya di daratan. Melihat keanehan ini, kaum musyrikin menertawakan beliau karena membuat kapal di tengah daratan yang jauh dari perairan.
وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلأٌ مِّن قَوْمِهِ سَخِرُواْ مِنْهُ قَالَ إِن تَسْخَرُواْ مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ — فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَن يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُّقِيمٌ –
“Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka (nanti) kami pun akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang kekal.” (QS. Huud: 38-39)
Dalam kisah ini, Nabi Nuh a.s. tidak membalas ejekan musuh-musuhnya. Beliau hanya berkata, ‘Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang kekal.’
Dalam Kitab ad-Durr al-Mantsur, As-Suyuthi meriwayatkan dari Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin, beliau berkata:
“Senjata orang durjana adalah kata-kata yang buruk”
Lalu bagaimana tips Al-Qur’an dalam menghadapi orang-orang yang hobi mencaci dan mengejek? Apakah kita harus membalasnya demi “memperjuangkan Islam?” Apakah kita tidak boleh berdiam diri demi “menegakkan kebenaran?”
Tips Al-Qur’an dalam Menghadapi Ejekan
Jika Allah tidak memberi celah sedikitpun untuk membalas ejekan, lalu bagaimana sikap kita menghadapi orang yang menghina pendapat kita, mengejek kita bahkan mengolok-olok kebenaran?
Jawaban Al-Qur’an hanya ada satu cara, diam dan berpaling. Bahkan Allah melarang kita melayani orang-orang “bodoh” yang hanya bermodal cacian.
Ayat pertama Allah berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199)
Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa orang bodoh itu ada dua macam. Orang yang tidak mengerti dan sadar bahwa dirinya tidak tahu. Dan orang yang bodoh tapi merasa paling pintar dan paling benar.
Menghadapi orang yang merasa paling benar tidak bisa lagi dengan argumen. Mungkin mereka tidak bisa membantah argumen kita, tapi mereka mulai memakai senjata cacian untuk memancing agar kita mengikuti pola kotor mereka. Dan jawaban terbaik bagi orang seperti ini adalah diam dan berpaling darinya.
“Tidak menjawab orang yang bodoh itu adalah sebuah jawaban”
Baca sejarah para nabi, khususnya nabi kita Muhammad saw. Segala perkataan keji dilontarkan kepada mereka tapi tidak ada balasan dari para nabi kecuali kebaikan dan keindahan. Karena penyeru tidak boleh masuk dalam dunia caci mencaci.
Bersabar dan berpaling dari orang yang mencaci kita memang bukan hal yang mudah, karenanya Allah berfirman kepada Rasulullah saw,
وَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْراً جَمِيلاً
“Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzzamil: 10)
Allah swt berpesan untuk bersabar menghadapi mereka, karena menahan diri untuk tidak membalas ejekan bukanlah hal yang mudah. Setelah itu tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.
Cara ini lebih menyakitkan orang yang mencaci kita dibanding kita membalasnya dengan cacian. Karena tujuan mereka memang untuk memancing kita masuk dalam lubang caci mencaci.
Ayat kedua Allah berfirman,
فَإنْ حَآجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ
Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, “Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.” (QS. Ali Imran: 20)
Ayat di atas menjelaskan ketika Rasulullah saw berdialog dengan orang-orang Kristen Najran, Rasul mulai menyampaikan dalil-dalilnya yang begitu kuat. Ketika mereka tidak bisa menjawab dalil Nabi, akhirnya mereka mulai membantah dan mencaci beliau.
Saat itu pula turun ayat yang memerintahkan Rasulullah untuk pasrah dan tidak melayani mereka. “Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.”
Ayat ketiga Allah berfirman,
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ
Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, salam bagimu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh.” (QS. Al-Qashas: 55)
Para Ahlul Kitab yang berpegang teguh pada ajarannya mulai masuk Islam dan mengikuti Rasulullah saw. Risiko mereka adalah selalu diejek dengan kata-kata yang keji dan buruk. Tapi mereka tidak pernah melayaninya, mereka hanya menjawab, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, salam bagimu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh.”
Salam yang dimaksud adalah untuk mengakhiri pembicaraan dan tidak ada waktu untuk melayani orang-orang bodoh itu.
Kebenaran Harus Disampaikan Dengan Cara Yang Benar!
Sering caci mencaci itu mulai dari kata-kata yang sederhana. Semakin panas semakin keluar kata-kata yang keji bahkan hingga mengejek fisik seseorang.
Alangkah biadabnya seorang yang menghina fisik seseorang. Bayangkan, jika seseorang melihat suatu lukisan kemudian dia mencacinya, kira-kira siapa yang sebenernya dicaci? Lukisan itu atau pelukisnya?
Seorang yang menghina fisik orang lain sama saja dia menghina penciptanya, Naudzubillah!
Kebenaran harus disampaikan dengan cara yang benar. Kebenaran tidak perlu dibela dengan hal-hal yang kotor. Diam bukan berarti kalah, diam saat dicaci adalah tanda orang berakal. Dan ikut terpancing untuk mencaci berarti kita sama bodohnya dengan si pencaci itu.
Jangan pernah ragu hingga merasa harus membela kebenaran apapun caranya. Kebenaran itu ada pemiliknya, dan Sang Pemilik Kebenaran tidak akan tinggal diam.
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, salam bagimu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh.”
Selamat tinggal orang-orang frustasi yang hanya bermodal mencaci. Kami adalah umat yang ingin menyebar kedamaian dan ketentraman di muka bumi. Tidak layak bagi kami untuk melayani cacian kalian.
Sekali lagi, jangan pernah menganggap diam itu kalah. Kita sedang memperjungkan agama Allah bukan ingin memenangkan ego kita sendiri, karena itu harus dengan cara-cara yang direstui-Nya.
Ayat keempat Allah berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَاماً
Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “salam,” (QS. Al-Furqan: 63)
Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih, para penyeru kebenaran harus penuh dengan rahmat dan kasih sayang.
Salam dalam ayat ini bukan bermakna memberi salam, tapi ingin menunjukkan kami tidak memiliki waktu untuk menjawab cacian, kami hanya ingin membawa kedamaian dan keselamatan.
Jadikan telinga kita seakan tuli dari cacian mereka dan selalu berpikir, mungkin bukan saya yang dimaksud. Seperti kata pepatah arab,
حِلْمِيْ اَصَمْ وَ اُذُنِيْ غَيْرُ صَمَّاء
“Kesabaranku itu tuli walaupun telingaku bisa mendengar”
Kisah Inspiratif
Suatu hari, cucu Rasulullah yang bernama Muhammad Al-Baqir pernah didatangi orang kristen dan berkata, “Kamu adalah baqor (sapi)”
Beliau menjawab, “Tidak, aku Baqir”
“Kamu anak dari tukang masak itu?”
“Benar, itulah pekerjaan ibuku.” Jawab Al-Baqir tanpa berubah raut wajahnya.
“Kamu adalah putra dari wanita hitam yang berbuat nista.” Hardiknya.
“Jika kamu benar, semoga Allah mengampuni ibuku. Jika kamu salah, semoga Allah mengampunimu” Jawab Al-Baqir.
Seketika orang itu menangis melihat kesabaran Al-Baqir dan meminta maaf kepada beliau. Saat itu juga ia masuk Islam.
Orang yang paling dungu adalah ia yang merasa paling benar dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Imam Ali pernah berpesan,
“Janganlah kamu berteman dengan orang yang dungu. Ia ingin memberi manfaat kepadamu tapi malah menyusahkanmu.”
Nabi Isa as juga pernah bersabda tentang orang dungu,
“Aku diberi kemampuan oleh Allah untuk menyembuhkan orang yang sakit belang dan buta. Bahkan aku bisa menghidupkan orang mati atas izin Allah. Tapi aku tak pernah mampu mengobati orang dungu.”
Kita membawa nama Islam dalam berdakwah, bukan membawa nama pribadi. Maka kita tidak punya hak sedikitpun untuk melakukan sesuatu yang semakin mengotori nama Islam.
Stop berdebat! Stop Mencaci! Stop Mengejek!
Nama Islam dirusak oleh para pengikutnya sendiri karena kaum Muslimin hanya mengambil sepotong darinya. Masuk Islam harus sempurna, tidak hanya mengambil sebagian.
Menyuarakan Islam dengan cara yang tidak Islami hanya akan semakin merusak kemuliaannya. Dan kita tidak pernah menganggap para pencaci itu orang bodoh, namun perilaku mereka menampakkan kebodohan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Sumber : www.ahlulbaitindonesia.or.id
https://limawaktu.id/spirit/cara-menjawab-ejekan-dalam-al-quran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar