Doa/munajat tersebut
diriwayatkan oleh Hadhrat Mawlana Syekh `Abd al-Khaliq al-Ghujduwani (semoga
Allah mensucikan rahasianya) melalui keadaan spiritual tanpa hijab (kashf) dari
Nabi (s), walaupun tanpa mata rantai transmisi. Kata-kata ini merupakan
doa/zikir utama dari Prinsip Keenam / Kesembilan Tarekat Naqsybandi yang disebut Baz Gasht
atau “Kembali”. Mawlana Syekh Hisyam Kabbani (semoga Allah mensucikan
rahasianya) mengatakan di dalam bukunya The Golden Chain:
“Baz Gasht adalah suatu
keadaan di mana seorang pencari/salik, yang berzikir dengan negasi dan afirmasi
(penyangkalan dan penegasan), sampai pada pemahaman akan ungkapan Nabi Suci
(s), ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (“Wahai Tuhanku, Engkau adalah
tujuanku dan Rida-Mu adalah yang kudambakan). Pembacaan dari ungkapan ini akan
meningkatkan kesadaran sang pencari tentang Ke-Esaan Allah, sampai ia mencapai
keadaan di mana keberadaan semua ciptaan (makhluk) lenyap dari pandangan
matanya. Semua yang dilihatnya, ke manapun ia memandang, adalah Allah
ash-Shamad. Murid Naqsybandi membaca zikir macam ini untuk mengekstrak rahasia
Al-Ahad dari kalbunya, dan untuk membuka diri mereka kepada Kenyataan Hadirat
Allah yang Unik. Para pemula tidak berhak untuk meninggalkan zikir ini bila ia
tidak mendapati kekuatan itu muncul di dalam kalbunya. Ia harus tetap membaca
zikir ini mengikuti (meniru) Syekhnya, karena Nabi (s) telah mengatakan,
“Barang siapa meniru suatu golongan, ia akan menjadi bagian dari golongan itu.”
Dan barang siapa meniru gurunya, suatu hari akan mendapati rahasia itu terbuka
bagi kalbunya.
Arti dari frase “baz
gasht” adalah kembali kepada Allah Azza wa Jalla dengan menunjukkan kepasrahan
diri sepenuhnya dan tunduk kepada Kehendak-Nya, dan kerendahan hati sepenuhnya
dengan memberikan puji-pujian kepada-Nya. Itulah alasan Nabi (s) menyebutkan
dalam doanya, ma dzakarnaka haqqa
dzikrika ya Madzkur (“Kami tidak Mengingat-Mu sebagaimana seharusnya Engkau
Diingat, Ya Madzkur, Wahai Dzat Yang Patut Diingat.”). Sang pencari tidak
dapat datang kepada hadirat Allah dalam zikirnya, dan tidak dapat mengungkapkan
Rahasia dan Sifat Allah dalam zikirnya, bila ia tidak melakukan zikirnya itu
dengan Dukungan Allah dan dengan Allah Mengingat dirinya. Sebagaimana dikatakan oleh Bayazid [al-Bistami]: “Ketika aku mencapai
Dia aku melihat bahwa ingatan Dia (kepadaku) mendahului ingatanku kepada-Nya.”
Sang pencari tidak dapat melakukan zikir oleh dirinya sendiri. Ia harus
mengetahui bahwa Allah adalah justru yang sedang melakukan Zikir melalui
dirinya itu.
Berbagi Info..
Salam
0 komentar:
Posting Komentar