سْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Senin, 15 Maret 2021

JALAN MENUJU KEPADA ALLAH (TASAWUF)

Jalan Menuju kepada Allah (Tasawuf)

Syariah, Thariqoh, Haqiqah

Orang yang menempuh jalan sufi dalam istilah tasawuf digambarkan seperti orang yang menempuh jalan, yaitu jalan menuju Tuhan. Dalam istilah tasawuf, jalan menuju Tuhan dinamakan thariqah. Yaitu jalan penyucian hati untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Di samping istilah Thariqah terdapat istilah Syari’ah, yang secara harfiah juga berarti jalan. Syariah ialah jalan utama, yaitu aturan-aturan dan hukum-hukum agama pada umumnya yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an dan As-sunnah. Sedangkan thariqah adalah jalan khusus, yaitu jalan penyucian hati yang tidak lain merupakan pendalaman di dalam mengamalkan syari’ah. Syari’ah merupakan jalan utama, sedangkan thariqah merupakan jalan khusus yang terdapat di dalam jalan utama.

Tujuan menempuh  dan thariqah adalah untuk mencapai haqiqat yaitu kebenaran yang bersumber dari Dzat Yang Maha Benar (Al-Haqq), yaitu Allah. Haqiqat adalah kebenaran sejati yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya.

Ahli tasawuf membuat perumpamaan, syari’ah digambarkan seperti sebuah lingkaran, thariqah adalah jari-jari yang terdapat di dalam lingkaran dan haqiqat adalah titik yang terdapat pada pusat lingkaran. Semua jari-jari yang terdapat di dalam lingkaran itu ditarik menuju titik yang terdapat di dalam lingkaran. Perumpamaan lainnya, syari’ah ibarat lautan, thariqah ibarat mengarungi lautan itu, dan haqiqat ibarat mutiara yang terdapat di dasar lautan. Untuk sampai ke haqiqat, seseorang harus mengarungi lautan itu sedalam-dalamnya, sehingga memperoleh mutiara yang terdapat di dasar lautan. Dalam pada itu, menurut ahli tasawuf, haqiqat bukanlah sesuatu yang dapat dicapai semata-mata dengan kehendak atau ikhtiar manusia. Haqiqat diperoleh sebagai anugerah dari Allah SWT.

Maqamat dan Ahwal

Jalan menuju Tuhan (thariqah) terdiri tahapan-tahapan yang dinamakan maqamat. Maqamat, jamak dari maqam, artinya tahapan, tingkatan atau kedudukan. Yang dimaksud ialah tahapan rohani yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Di samping istilah maqam, terdapat istilah hal, dalam bentuk jamak ahwal, yaitu keadaan rohani yang dirasakan di dalam kedekatan dengan Tuhan. Perbedaan maqam dengan hal ialah bahwa maqam adalah tahapan rohani yang dicapai dengan usaha, sedangkan hal adalah keadaan mental yang datang sebagai anugerah dari Allah. Alhi tasawuf berkata, “Sebagai ahli tasawuf berkata bahwa suatu keadaan hati dinamakan hal karena berubah-ubah, dan dinamakan maqam karena telah tetap(mapan) di dalam hati. Secara harfiah, perkataan hal itu sendiri berarti keadaan, yaitu keadaan hati, sedangkan maqam berarti tahapan, atau tingkatan, yaitu tingkatan rohani yang ditempuh dalam perjalanan menuju kepada Allah.

Pendapat yang popular mengenai maqamat dan ahwal ditulis oleh syaikh Abu Nasr al-Sarraj di dalam kitabnya. Al-Sarraj berkata : maqam ialah kedudukan hamba di sisi Allah yang dicapai karena ibadatnya, mujahadat-nya dan riyadat-nya serta pencurahan hati(inqita) kepada Allah.Al-Sarraj menyebutkan ada tujuh maqamaat yang harus ditempuh oleh seorang sufi. Tujuh maqamaat itu ialah Tobat, Wara’, Zuhud, Kefakiran, Sabar, Tawakal dan Ridha.

Sedangkan hal adalah sesuatu yang masuk di dalam hati, sesuatu yang dirasakan, karena ketulusan dalam berdzikir kepada Allah. Menurut Al-Sarraj ada sepuluh ahwal yaitu: Muraqabah, Qurb, Mahabbah, Khawf, Raja’, Syawk, Uns, Thumaninah, Musyahadah dan Yaqin.

Maqam  yang ditempuh oleh sufi diantaranya:

Maqam Tobat. Orang yang menempuh jalan sufi terlebih dahulu harus bertobat dari dosa, baik dosa yang tampak, dosa yang dilakukan oleh anggota badan, maupun dosa yang tersembunyi dalam hati.

Maqam Wara’. Yaitu meninggalkan perkara yang syubhat, yaitu perkara yang mengandung kesamaran atau meragukan hukukmnya, dengan kata lain tidak ada dalil yang secara tegas menetapkan halal atau haram hukumnya. Termasuk wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna.

Maqam Zuhud. Yaitu mengosongkan hati dari cinta kepada dunia dan menjalani hidup untuk beribadah kepada Allah. Zuhud tidak berarti meninggalkan kehidupan duniawi tetapi yang diimaksud Zuhud ialah mengosongkan hati dari cinta kepada dunia, dari ketamakan, yang menjadikannya lupa kepada Allah. Sebagaimana doa dari Syaikh Abdul Hasan Al-Syadzili: Ya Allah, berilah aku rizki yang lapang dari perkara dunia, tetapi janganlah perkara dunia menutupi hatiku dari perkara akhirat. Dalam redaksi lain “jadikanlah dunia ada di tangan saya , jangan engkau jadikan dunia di hati saya.

Maqam Kefakiran (faqr). Yang dimaksud kefakiran adalah kekafiran dihadapan Allah, kesadaran bahwa ia membutuhkan Allah. orang fakir adalah orang yang sadar bahwa ia membutuhkan Allah. Syaikh Ibn Athaillah bahwa kebutuhan kepada Allah adalah kebutuhan yang melekat dalam diri manusia , demikian juga setiap mahluk, tidak pernah terpisah selama-lamanya. Sebagaimana tercermin dalam salah satu munajatnya, ia berkata : “Tuhanku, sesungguhnya aku adalah orang yang fakir dalam kekayaanku. Aku adalah orang yang bodoh dalam kepandaianku,maka betapa aku tidak merasa bodoh dalam kebodohanku”.

Maqam Sabar, yaitu sabar dalam menjalankan perintah Allah, sabar meninggalkan larangan-Nya, sabar menghadapi kesulitan, dan sabar atas nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya. Maqam selanjutnya ialah tawakal, yaitu menyerahkan segala sesuatu kepada Allah. Tidak pula tergantung pada amalnya. Tetapi janganlah dipahami bahwa tawakal itu menyurutkan amal, sebaliknya mendorong kepada amal dan ikhtiar untuk mencari kebaikan, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mencari kebaikan adalah kewajiban atas manusia, hasil atas usaha adalah urusan Allah. Maqam yang terakhir ialah Maqam Ridha, yaitu menerima dengan senang hati  segala sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah, menyadari bahwa ketentuan Allah lebih baikdari keinginannya, bahwa pilihan Allah lebih baik dari pilihannya.

Dalam sistematika Al-sarraj, maqam ridha adalah maqam yang paling tinggi. Sesudah menempuh semua maqamat itu, selanjutnya orang yang menempuh jalan sufi merasakan apa yang dinamakan ahwal. Sebagaimana telah dikemukakan yang dimaksud dengan ahwal,jamak dari hal, ialah keadaan mental, suatu perasaan yang dirasakan dalam hati, ketika atau setelah menempuh tahapan tertentu dalam maqamat.

Menurut Al-sarraj yang prtama dirasakan oleh sufi ialah hal muraqabah, yaitu kesadaran bahwa ia dilihat dan diawasi oleh Allah. Hal muraqabah selanjutnya membawa kepada qurb, yaitu rasa dekat dengan Allah, juga muhabah/cinta  kepada Allah, yaitu cinta yang disetrai rasa takut kepada Allah (khawf) takut kepada azab Allah dan raja’ ,mengaharap kepada rahmat Allah. Dari hal cinta dan mengaharap kepada Allah ini membawa kita kepada syawq, rindu kepada Allah,selanjutnya membawa kita kepada uns, kegembiraan dalam kebersamaan dengan Allah, thumaninah, ketentraman, dan musyahadah menyaksikan dengan hati kepada Allah didalam ciptaan-Nya. Musyahadah membawa kita kepada yaqin, keyakinan sesungguhnya keapda Allah.

Tujuan tasawuf menurut Al-sarraj adalah musyahadah yang selanjutnya membawa kita kepada keyakinan yang sesungguhnya kepada Allah. Keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Inilah makna kedekatan sesungguhnya dengan Allah sebagaimana dalam hadits,” engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihat engkau.” Sistamatika menurut Al-sarraj dapat dilihat di bawah ini :

MAQAMAT AHWAL

Taubat Muraqabah

Wara’ qurb

Zuhud Mahabbah

Khawf

Raja

Faqr/kefakiran Syawq

Sabar Uns

Tawakal Thumaninah

Ridha Musyahadah

yaqin

Syeikh Suhrawadi, didalam kitabnya ‘Awarij al ma’rif, setelah mengemukakan macam-macam hal dan maqam, ia menggaris bawahi bahwa pokok dari hal dan maqam itu ada empat perkara. Keempat perkara itu adalah iman ke[ada Allah, Zuhud, Tobat, dan maqam al-ubudiyyah, yaitu menempatkan diri sebagai hamba Allah dengan menjalankan ibadah sebaik-baiknya. Para ulama tasawuf sepakat dengan empat perkara maqamat menjadi mantap dan demikian pula ahwal menjadi kokoh, dan dengan empat perkara itu para ahli mencapai kedudukannya sebagai wali dengan kekuatan dari Allah dan dengan pertolongan yang sebaik-baiknya dari Allah. Demikian Syaikh Suhrawardi menjelaskan dalam kitabnya.

Sendi-sendi Perjuangan Rohani

Menurut ajaran para sufi, ada empat perkara yang merupakan sendi-sendi perjuangan rohani menuju kepada Allah, yaitu sedikit bicara (qillat al-qalam), sedikit makan (qillat al-tha’am), sedikit tidur (qillat manam) dan mengasingkan diri dari manusia (al-i’tizal min al-nas). Dalam suatu syair dikatakan bahwa rumah rohani para wali itu ada empat tiang, yaitu diam (al-shumf), mengasingkan diri (i’tizal), lapar (al-ju’) dan bangun pada malam hari (al-sahr).

Sedikit bicara maksudnya ialah menjaga lidah dari ucapan yang tidak berguna. Sedikit makan maksudnya ialah banyak berpuasa, mengendalikan hawa nafsu kepada kesenangan duniawi. Sedikit tidur maksudnya ialah bangun pada malam hari untuk melakukan shalat dan berdzikir kepada Allah. Mengasingkan diri dari manusia maksudnya ialah mengasingkan diri dalam waktu tertentu untuk beribadah kepada Allah. Bisa juga bahwa soerang sufi itu hatinya terasing dari makhluk karena ia senantiasa bersama Allah. Walaupun secara lahiriyah hatinya terasing dari makhluk ia bermuamalah dengan makhluk sebagaimana manusia pada umumnya. Seluruh aktivitasnya diniatkan untuk beribadah dan taqarrub kepada Allah.

Takhalli, Tahalli dan Tajalli

Takhalli, Tahalli dan Tajalli merupakan tahapan-tahapan dari penjelasan lain jalan menuju Tuhan. Takhalli artinya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat yang tercela, dari maksiat lahir dan bathin. Tahalli artinya menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji dari ketaatan lahir dan bathin. Tajalli artinya terbukanya tabir yang mengalingi hamba dengan Allah sehingga hamba menyaksikan dengan penglihatan hatinya tanda-tanda kehadiran Allah dan keagungan-Nya. Takhalli, Tahalli dan Tajalli merupakan salah satu tema pokok tasawuf dalam Islam, yaitu tema yang berkaitan dengan pendidikan akhlak sebagai suatu cara menyucikan jiwa.

Syaikh Amin Al-Kudri berkata hendaknya orang yang menempuh jalan sufi menyongsong hati dari sifat yang tercela, seperti iri hati, dengki, sombong, membanggakan diri sendiri, kikir, riya, senang kepada tahta dan pangkat, bermegah-megah, ghadhab, menggunjing, mengadu domba, dusta, banyak bicara yang tidak bergunadan lain-lain.

Takhalli selanjutnya diikuti atau disertai dengan Tahalli, yaitu menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji, misalnya menghiasi jiwa dengan akidah yang benar, obat, sabar, wara’, zuhud, qana’ah, ridha, syukur, berkata benar, menyampaikan amanah, menjaga hak tetangga, menyebarkan salam dan lain-lain.

Takhalli dan Tahalli ditempuh dengan mengosongkan jiwa dari sifat yang buruk, selanjutnya mengisi dengan sifat-sifat yang baik. Tidak berarti jiwa harus dikosongkan lebih dulu dari semua sifat yang buruk, sesudah itu baru dihiasi dengan sifat-sifat yang terpuji, tetapi keduanya dapat dilaksanakan dalam proses yang berjalan bersama-sama. Begitu suatu sifat tercela dijauhi, bersamaan dengan itu sifat yang terpuji ditumbuhkan. Banyak sekali sifat yang tercela merupakan kebalikan atau lawan dari sifat yang terpuji. Kikir adalah sifat yang terceka dan dermawan adalah sifat yang terpuji. Sifat tercela dalam jiwa manusia ada yang mudah diketahui dan ada yang sulit untuk diketahui. Ada yang nyata dan ada yang tersembunyi di dalam hati, ada yang mudah diobati dan ada yang sulit diobati, ada yang kaitannya dengan syahwat jasmani dan ada yang kaitannya dengan syahwat rohani. Untuk mengobati sifat-sifat itu diperlukan bimbingan guru rohani yang memberikan bimbingan kepada murid tentang jalan menuju kepada Tuhan. (FK)

Sumber Info :

https://fajarkhoirunisa.wordpress.com/2016/09/29/jalan-menuju-kepada-allah-tasawuf


0 komentar:

Posting Komentar