سْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Senin, 21 Juni 2021

Apakah Ajaran Tasawuf Tidak Sesuai Dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits dan Dipengaruhi Unsur di Luar Islam ?

 

Belajar tasawuf yang sangat penting bagi umat Islam bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Dari segi asal-muasal kata saja, sering terjadi pro dan kontra. Belum lagi aplikasi praktisnya untuk menjalani kehidupan ala tasawuf itu sendiri. Ilmu tasawuf bukan hanya teori, melainkan juga praktik. Berbagai pendapat yang sering membingungkan adalah apakah tasawuf itu sesat (mistik dari luar Islam) atau sebuah jalan yang hak sebagai ajaran Islam. Tulisan ini mengajak pembaca untuk bersama-sama meyakinkan bahwa ajaran tasawuf itu murni dari ajaran Islam bukan pengaruh dari luar Islam. Pemikiran dan praktek tasawuf yang dihasilkan dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits berbeda dengan pemikiran bebas yang tidak bersumber dari keduanya.

Dalam mempelajari ilmu tasawuf kita menemukan banyak teori yang berkaitan dengan asal usul ajaran tasawuf. Di antara teori yang satu dengan teori yang lain telah menimbulkan pro dan kontra, sehingga menimbulkan adanya keraguan dan kecaman terutama bagi kalangan yang anti terhadap praktek ajaran tasawuf. Para tokoh muslim (yang simpati dan menekuni ajaran tasawuf) mengatakan, bahwa asal usul tasawuf berasal murni dari ajaran Islam, sementara tokoh-tokoh di luar Islam berpendapat bahwa ajaran tasawuf bukan murni dari ajaran Islam melainkan pengaruh dari ajaran dan pemikiran di luar Islam. Terlepas dari berbagai macam teori yang ada, tulisan ini mencoba merangkum berbagai pendapat yang ditulis oleh pengkaji tasawuf dan selanjutnya mencoba memberikan suatu kesimpulan, apakah asal usul tasawuf murni bersumber dari ajaran Islam atau bukan dari ajaran Islam? Tulisan berikut ini terlebih dahulu mengemukakan asal kata dari “tasawuf” berikut pengertiannya, kemudian memaparkan teori-teori asal usul tasawuf yang berasal dari unsur Islam dan unsur di luar Islam, dan selanjutnya sanggahan terhadap teori oreintalis tentang asal usul tasawuf.

Asal usul Kata Tasawuf. 

1. Menurut bahasa 

Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal usul penggunaan kata tasawuf. Dari berbagai sumber rujukan buku-buku tasawuf, paling tidak ada lima pendapat tentang asal kata dari tasawuf. Pertama, kata tasawuf dinisbahkan kepada perkataan ahlshuffah, yaitu nama yang diberikan kepada sebagian fakir miskin di kalangan orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah diantara orang-orang yang tidak punya rumah, maka menempati gubuk yang telah dibangun Rasulullah di luar masjid di Madinah. Ahl al-Shuffah adalah sebuah komunitas yang memiliki ciri yang menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah. Mereka meninggalkan kehidupan dunia dan memilih pola hidup zuhud. Mereka tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana (sofa), mereka miskin tetapi berhati mulia. Para sahabat nabi hasil produk shuffah ini antara lain Abu Darda’, Abu Dzar al Ghifari dan Abu Hurairah3 . Kedua, ada pendapat yang mengatakan tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti bulu domba. Berasal dari kata shuf karena orang-orang ahli ibadah dan zahid pada masa dahulu menggunakan pakaian sederhana terbuat dari bulu domba. Dalam sejarah tasawuf banyak kita dapati cerita bahwa ketika seseorang ingin memasuki jalan kedekatan pada Allah mereka meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun sederhana. Tradisi pakaian sederhana dan compang camping ini dengan tujuan agar para ahli ibadah tidak timbul rasa riya’, ujub atau sombong4 . Ketiga, tasawuf berasal dari kata shofi, yang berari orang suci atau orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniaan5 . Mereka memiliki ciri-ciri khusus dalam aktifitas dan ibadah mereka atas dasar kesucian hati dan untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Mereka adalah orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat. Pendapat yang keempat mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shaf, yaitu menggambarkan orang-orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan dalam melaksanakan kebajikan6 . Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa tasawuf bukan berasal dari bahasa Arab melainkan bahasa Yunani, yaitu sophia, yang artinya hikmah atau filsafat7 . Menisbahkandengan kata sophia karena jalan yang ditempuh oleh para ahli ibadah memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan jiwa. Contoh ini pernah dialami oleh Iman al Ghazali dalam mengarungi dunia tasawuf. Masih banyak pendapat lain yang menghubungkan kata tasawuf dengan perkataan-perkataan lain yang dapat dirujuk dalam buku-buku tasawuf. Yang jelas dari segi bahasa terlepas dari berbagai pendapat yang ada, dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bijaksana serta mengutamakan kebajikan.

 2. Menurut Istilah 

Selanjutnya tasawuf dari aspek terminologis (istilah) juga didefinisikan secara beragam, dan dari berbagai sudut pandang. Hal ini dikarenakan bebeda cara memandang aktifitas para kaum sufi. Ma’ruf al Karkhi mendefinisikan tasawuf adalah “mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada di tangan mahkluk”8 . Abu Bakar Al Kattani mengatakan tasawuf adalah” budi pekerti. Barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf”9 . Selanjutnya Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan tasawuf adalah “suatu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melaksanakan suluk dan perjalanan menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangannya”10 . Dari kajian sudut bahasa maupun istilah sebagaimana dijelaskan di atas, menurut Nicholson, bahwa masalah yang berkaitandengan sufisme adalah sesuatu yang tidak dapat didefinisikan secara jelas dan terang, bahkan semakin banyak didefinisikan maka semakin jauh dari makna dan tujuan11. Hal ini biasa terjadi karena hasil pengalaman sufistik tergantung pada pengamalan masing-masing tokoh sufi. Namun, menurut Abuddin Nata, bahwa walaupun setaip para tokoh sufi berbeda dalam merumuskan arti tasawuf tapi pada intinya adalah sama, bahwa tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah. Atau dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dan bersama Allah12. Dari kesimpulan ini maka kemudian melahirkan beberapa teori tentang asal usul ajaran tasawuf, apakah ajaran-ajaran tentang pembersihan jiwa itu murni dari Islam atau justru pengaruh unsur lain di luar Islam. Maka untuk memaknai tujuan dan hakekat tasawuf dalam Islam, kita harus mengkaji pendapat-pendapat lain tentang teori asal usul ajaran tasawuf, sebab dari kalangan orientalis Barat masih membuat kesimpulan bahwa ajaran-ajaran tasawuf dalam Islam, bukan hasil ajaran murni dari ajaran Islam, melainkan pengaruh dari ajaran luar Islam.

Teori Asal Usul Ajaran 

Dari beberap buku (kajian) tentang asal usul tasawuf, biasanya kita menjumpai pendapat atau teori-teori yang berkaitan dengan sumber-sumber yang membentuk tasawuf. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ada dua teori yang berpengaruh dalam membentuk tasawuf, yaitu teori yang berasal dari ajaran atau unsur Islam, dan teori yang berasal dari ajaran atau unsur lain di luar Islam. Para orientalis Barat mengatakan bahwa tasawuf bukan murni dari ajaran Islam, sementara para tokoh sufi mengatakan bahwa tasawuf merupakan inti ajaran dari Islam. 

1.  Unsur Islam 

Para tokoh sufi dan juga termasuk dari kalangan cendikian muslim memberikan pendapat bahwa sumber utama ajaran tasawaf adalah bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an adalah kitab yang di dalam ditemukan sejumlah ayat yang berbicara tentang inti ajaran tasawuf. Ajaran-ajaran tentang khauf, raja’, taubat, zuhud, tawakal,syukur, shabar, ridha, fana, cinta, rindu, ikhlas, ketenangan dan sebagainya secara jelas diterangkan dalam al-Qur’an13. Antara lain tentang mahabbah (cinta) terdapat dalam surat al-Maidah ayat 54, tentang taubat terdapat dalam surat al-Tahrim ayat 8, tentang tawakal terdapat dalam surat at-Tholaq ayat 3, tentang syukur terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7, tentang shabar terdapat dalam surat al-Mukmin ayat 55, tentang ridha terdapat dalam surat alMaidah ayat 119, dan sebagainya14 . Sejalan dengan apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, bahwa al-Hadits juga banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah sebagaimana yang ditekuni oleh kaum sufi setelah Rasulullah. Dua hadits populer yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim : “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu” dan juga sebuah hadits yang mengatakan: “Siapa yang kenal pada dirinya, niscaya kenal dengan Tuhan-Nya” adalah menjadi landasan yang kuat bahwa ajaran-ajaran tasawuf tentang masalah rohaniah bersumber dari ajaran Islam. Ayat-ayat dan hadits di atas hanya sebagian dari hal yang berkaiatan dengan ajaran tasawuf. Dalam hal ini Muhammad Abdullah asy-Syarqowi mengatakan: “awal mula tasawuf ditemukan semangatnya dalam al-Qur’an dan juga ditemukan dalam sabda dan kehidupan Nabi SAW, baik sebelum maupun sesudah diutus menjadi Nabi. Begitu juga awal mula tasawuf juga dapat ditemukan pada masa sahabat Nabi beserta para generasi sesudahnya15. Selanjutnya, Abu Nashr As-Siraj al-Thusi mengatakan, bahwa ajaran tasawuf pada dasarnya digali dari al-Qur’an dan as-Sunah, karena amalan para sahabat, menurutnya tentu saja tidak keluar dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Demikian pula menurut Abu Nashr, bahwa para sufi dengan teori-teori mereka tentang akhlak pertama-pertama sekali mendasarkan pandangan mereka kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (Yasir Nasution, 2007: 18). Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat banyak petunjuk yang menggambarkan dirinya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta. Dikalangan para sahabat pun juga kemudian mengikuti pola hidup seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu bakar Ash-Shiddiq misalnya berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati”. Demikian pula sahabat-sahabat beliau lainnya seperti Umar bin Khottob, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghiffari, Bilal, Salman al-Farisyi dan Huzaifah alYamani16 . Dari berbagai pendapat di atas dapat dipahami, bahwa teori asal usul tasawuf bersumber dari ajaran Islam. Semua praktek dalam kehidupan para tokoh-tokoh sufi dalam membersihkan jiwa mereka untuk mendekatkan diri pada Allah mempunyai dasar-dasar yang kuat baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Teori-teori mereka tentang tahapan-tahapan menuju Allah (maqomat) seperti taubat, syukur, shabar, tawakal, ridha, takwa, zuhud, wara’ dan ikhlas, atau pengamalan batin yang mereka alami (ahwal) seperti cinta, rindu, intim, raja dan khauf, kesemuanya itu bersumber dari ajaran Islam.

Nashr As-Siraj al-Thusi mengatakan, bahwa ajaran tasawuf pada dasarnya digali dari al-Qur’an dan as-Sunah, karena amalan para sahabat, menurutnya tentu saja tidak keluar dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Demikian pula menurut Abu Nashr, bahwa para sufi dengan teori-teori mereka tentang akhlak pertama-pertama sekali mendasarkan pandangan mereka kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (Yasir Nasution, 2007: 18). Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat banyak petunjuk yang menggambarkan dirinya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta. Dikalangan para sahabat pun juga kemudian mengikuti pola hidup seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu bakar Ash-Shiddiq misalnya berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati”. Demikian pula sahabat-sahabat beliau lainnya seperti Umar bin Khottob, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghiffari, Bilal, Salman al-Farisyi dan Huzaifah alYamani16 . 

Dari berbagai pendapat di atas dapat dipahami, bahwa teori asal usul tasawuf bersumber dari ajaran Islam. Semua praktek dalam kehidupan para tokoh-tokoh sufi dalam membersihkan jiwa mereka untuk mendekatkan diri pada Allah mempunyai dasar-dasar yang kuat baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Teori-teori mereka tentang tahapan-tahapan menuju Allah (maqomat) seperti taubat, syukur, shabar, tawakal, ridha, takwa, zuhud, wara’ dan ikhlas, atau pengamalan batin yang mereka alami (ahwal) seperti cinta, rindu, intim, raja dan khauf, kesemuanya itu bersumber dari ajaran Islam. 

2. Unsur di luar Islam 

Menurut teori Ignas Goldziher, bahwa asal usul tasawuf terutama yang berkaitan dengan ajaran-ajaran yang diajarkan dalam tasawuf merupakan pengaruh dari unsur-unsur di luar Islam. Goldziher mengatakan, bahwa tasawuf sebagai salah satu warisan ajaran dari berbagai agama dan kepercayaan yang mendahului dan bersentuhan dengan Islam. Bahkan berpendapat bahwa beberapa ide al-Qur’an juga merupakan hasil pengolahan “ideology” agama dan kepercayaan lain17. Unsur agama dan kepercayaan lain selain Islam itu adalah unsur pengaruh dari agama Nashrani, Hindu-Budha, Yunani dan Persia. Pengaruh dari unsur agama Nashrani terlihat pada ajaran tasawuf yang mementingkan kehidupan zuhud dan fakir. Menurut Ignas Goldziher dan juga para Orientalis lainnya mengatakan bahwa kehidupan zuhud dalam ajaran tasawuf adalah pengaruh dari rahibrahib Kristen18. Begitu pula pola kehidupan fakir yang dilakukan oleh para sufi adalah merupakan salah satu ajaran yang terdapat dalam Injil. Dalam agama Nashrani diyakini bahwa Isa adalah orang fakir. Di dalam Injil dikatakan bahwa Isa berkata: “Beruntunglah kamu orangorang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Alah. Beruntunglah kamu orang-orang yang lapar, karena kamu akan kenyang”19 . Selain Ignas Goldziher, pendapat yang serupa juga dilontarkan Reynold Nicholson. Menurut Nicholson, “Banyak teks Injil dan ungkapan al-Masih (Isa) ternukil dalam biografi para sufi angkatan pertama. Bahkan, sering kali muncul biarawan Kristen yang menjadi guru dan menasehati kepada asketis Muslim. Dan baju dari bulu domba itu juga berasal dari umat Kristen”20 . Di samping pengaruh dari ajaran Nashrani, Goldziher juga mengatakan, bahwa ajaran tasawuf banyak dipengaruhi oleh ajaran Budha. Dia mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama dengan tokoh sufi Ibrahim bin Adam yang meninggalkan kemewahan sebagai putra mahkota. Bahkan, Goldziher mengatakan para sufi belajar menggunakan tasbih sebagaimana yang digunakan oleh para pendeta Budha, begitu juga budaya etis, asketis serta abstraksi intelektual adalah pinajaman dari Budhisme21. Ada kesamaan paham fana dalam tasawuf dengan nirwana dalam agama Budha. Begitu juga ada kesamaan cara ibadah dan mujahadah dalam ajaran tasawuf dengan ajaran Hindu. Menurut Harun Nasution, bahwa paham fana hampir sama dengan nirwana dalam agama Budha, dimana agama Budha mengajarkan pemeluknya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif. Demikian dalam ajaran Hindu ada perintah untuk meninggalkan dunia untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman22 . Untuk selanjutnya ada juga teori yang mengatakan bahwa tasawuf juga dipengaruhi oleh unsur Yunani. Menurut Abuddin Nata, bahwa metode berfikir filsafat Yunani telah ikut mempengaruhi pola berfikir umat Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Hal ini terlihat dari pemikiran al-Farabi, al-Kindi, Ibn Sina tentang filsafat jiwa. Demikian juga uraian mengenai ajaran tasawuf yang dikemukakan oleh Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi dan lain-lain. Menurut Abuddin Nata, ungkapan Neo Platonis :”Kenallah dirimu dengan dirimu” telah diambil sebagai rujukan oleh kaum sufi memperluas makna hadits yang mengatakan: “Siapa yang mengenal dirinya, niscaya dia mengenal Tuhannya”. Dari sinilah munculnya teori Hulul, Wihdah Asy-Syuhud dan Wihdah al-Wujud23 . Filsafat Emansi Platonis yang mengatakan bahwa wujud alam raya ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, maka dari itu roh harus dibersihkan. Penyucian roh itu adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati diri dengan Tuhan sedekat-dekatnya. Ajaran inilah yang kemudian mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum Zuhud dan sufi dalam Islam.

Kembali pada teori Goldziher, bahwa tasawuf dipengaruhi oleh kepercayaan dan agama di luar ajaran Islam, maka unsur kepercayaan dari Persia dengan sendirimya juga berarti telah ikut serta mempengaruhi tasawuf, karena hubungan politik, pemikiran, social dan sastra antara Arab dan Persia telah terjalin sejak lama. Namun belum ada bukti yang kuat bahwa kehidupan rohani Persia masuk ke tanah Arab. Tetapi memang ada sedikit kesamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq di Persia. Begitu pula konsep ajaran hakekat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.

Sanggahan Terhadap Teori Orientalis. 

Teori Goldziher dan Nicholson sebagaimana telah diuraikan di atas, dilihat dari berbagai aspek mengandung banyak kelemahan. Bila mereka mengakui bahwa tasawuf tidak murni dari ajaran Islam, ini dikarenakan titik fokus kesimpulan mereka hanya mengkaji tasawuf dari ajaran-ajaran atau prilaku kehidupan para sufi. Harus di akui, bahwa memang ada pola kesamaan kehidupan dan pemikiran para tokoh sufi dengan ajaran-ajaran di luar Islam, tetapi adanya kesamaan ini bukan berarti mereka mengambil ajaran di luar Islam, sebab al-Qur’an dan al-Hadits adalah sumber utama yang sarat dengan ajaran-ajaran tasawuf. Nampaknya Goldziher dan Nicholson tidak bersungguh-sungguh mengkaji kedua sumber tersebut. Titik fokus mereka tertuju pada pemikiran dan pola hidup para sufi, bukan pada ajaran formal yang menjadi landasan tasawuf, dan mereka pula telah melupakan untuk mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya yang menjadi anutan dari para tokoh sufi. Kelemahan lain dari teori mereka, bahwa mereka mengindentikkan ajaran Islam sebagaimana ajaran non Islam yang dibangun dari hasil produk pemikiran. Mereka lupa bahwa Islam adalah agama wahyu yang bukan produk pemikiran manusia. Semua ajaran yang terkadung di dalamnya bersifat universal dan terjamin kebenarannya serta tidak akan mengalami perubahan. Kepercayaan dan agama Nashrani, Budha, Hindu, dan budaya pemikiran Yunani dan Persia adalah produk pemikiran manusia yang terlepas dari ajaran wahyu. Adanya kesamaan konsep zuhud dan fakir dalam ajaran Nashrani dengan prilaku para sufi yang hidup zuhud dan memfakirkan diri bukan berarti para sufi mengambil ajaran Nashrani untuk menjadi pegangan mereka, tetapi hanyalah sekedar adanya kesamaan dari aspek ajaran antara Nashrani dan Islam saja. Hidup zuhud dan fakir sesungguhnya telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya sebelum para tokoh sufi muncul ke permukaan. Rasulullah SAW telah mempraktekkan hidup zuhud, qana’ah, takwa, mahabbah, syukur, taubat, ridha dan tawakkal dalam kehidupannya sehari-hari, begitu pula para sahabatnya.

Kelemahan lain dari teori Goldziher dan Nicholson, adalah terlalu gegabah menyimpulkan bahwa ajaran tasawuf bersumber dari ajaran Hindu-Budha. Konsep fana dan praktek kontemplasi dalam ajaran Hindu-Budha sama sekali tidak ada pengaruhnya dengan praktek ajaran tasawuf oleh para tokoh sufi. Bila dikaji secara historis tidak ada data yang menunjukkan bahwa agama Hindu-Budha berkembang di tanah Arab. Menurut Qomar Kailani, adalah pendapat yang ekstrim sekali kalau mengatakan bahwa ajaran tasawuf berasal dari Hindu-Budha. Ini berarti pada zaman Nabi Muhammad SAW telah berkembang ajaran Hindu-Budha itu di Makkah dan Madinah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu. Demikian pula halnya dengan pengaruh dari Persia, juga belum ditemukan argumentasi yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, bahwa kehidupan rohani Arab yang masuk ke tanah Persia27. Sama juga hal nya dengan pengaruh dari ajaran Neo Platonis Yunani, tidak ada data yang dapat dipercaya bahwa prilaku kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW dan tokoh sufi awal Islam diwarnai ajaran pemikiran Yunani. Pengaruh Neo Platonis berkembang jauh setelah ajaran tasawuf dipraktekkan.

Penutup 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesimpangsiuran teori asal mula tasawuf sesungguhnya berawal dari keikutsertaan kaum orientalis dalam memahami sumber ajaran Islam. Mereka terlalu cepat menyimpulkan tanpa mengkaji dahulu ajaran-ajaran tasawuf dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Obyek kajian mereka tertuju pada ide dan praktek kehidupan kaum sufi, bukan pada konsep ajaran yang dipegang oleh kaum sufi yang telah mempunyai landasan normatif di dalam al-Qur’an. Jika mereka mencoba memahami alQur’an dan sejarah asal mula praktek tasawuf, maka teori mereka yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf dipengaruhi unsur di luar Islam dengan sendirinya gugur dan tertolak secara akademis. Teori yang dapat diterima adalah teori yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf murni dari ajaran Islam bukan pengaruh dari luar Islam. Pemikiran dan praktek tasawuf yang dihasilkan dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits berbeda dengan pemikiran bebas yang tidak bersumber dari keduanya. Pemikiran yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits bersifat liberal, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai rujukan untuk membuat suatu sebuah grand teori yang terpercaya dalam mengkaji asal usul ajaran tasawuf dalam Islam.


Sumber :https://media.neliti.com/media/publications/76410-ID-none.pdf

Abul “Alaa “Afify, Fi al Tashawwuf al Islam wa Tarikhikhi, Iskandariyah:

Lajnah al Ta’lif wa al-Tarjamah wa al Nasyr, tt.

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,

2009.

Abul al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ala al Tashawwuf alIslam, terj. Ahmad Rofi’ Ustman, “Sufi Dari Zaman ke

Zaman”, Bandung: Pustaka:1985.

Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,tt.

Alwan Khoiri,et al, Akhlak/Tasawuf, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.

Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub,

Surabaya: Bungkul Indah, tt.

AS-Suhrawardi, Awarif al_Ma,rif Kamisy Ihya’ ‘Ulum al-Din, Singapura:

Mar’I,tt.

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam Jakarta: Bulan

Bintang, 1973.

Ignas Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam Jakarta: INIS

Jakarta, 1991.

Moh. Ghallab, al-Tasawuf al-Muqarin Kairo: Maktabah al-Nahdah,

t.t.

Muhammad Abdullah Asy-Syarqawi, Sufisme & Akal, terj. Halid alKaf Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.

Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi, Cakrawala: Yogyakarta,

2009.

Reynold Nicholson, The Mystics of Islam, terj. A. Nashir Budiman,

“Tasawuf Menguak Cinta Ilahi” Jakarta: Raja Grafindo, 1993.

Reynold Nicholson, Jalaluddin Rumi, Ajaran dan Pengalaman Sufi

Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Yasir Nasution, Cakrawala Tasawuf Jakarta: Putra Grafika, 2007.

0 komentar:

Posting Komentar